Ditulis Ditengah Tanah lapang dengan Pikiran yang Masih Sempit
'Sore itu indah, matahari berbentuk lingkaran penuh dengan warna oranye yang pekat hampir terbenam, orang beramai-ramai datang mengerubungi sesuatu, sisanya berseliweran lewat entah kemana mereka akan pergi. Sepotong jagung rebus dan segelas es kelapa muda masih utuh disimpan diatas sebuah kursi plastik. Tak ada yang istimewa, tak ada yang bisa kutemukan sebab aku tak mencari apapun'..
Setelah banyak waktu panjang yang dilewati dengan tidak melakukan hal-hal yang semestinya diwujudkan sejak lama, bukan tanpa alasan meski sebetulnya hal tersebut tak bisa menjadi alasan kuat untuk memenangkan rasa malas yang berkepanjangan. Barangkali yang sebenarnya terjadi adalah motivasi yang hilang, atau arah yang berubah, tak menjadikan sesuatu sebagai alasan kuat yang pada akhirnya menjadikan sebuah tujuan sulit untuk dicapai.
Memulai segala sesuatu sungguhlah mudah, namun bagian tersulitnya adalah bagaimana kita tetap konsisten melakukannya tanpa terpengaruh oleh banyak hal yang menganggu, barangkali pengendalian diri dan tekad kuat yang perlu kita miliki.
Aku menyadari betapa aku tidak memiliki motivasi yang kuat untuk membangun ulang kebiasaan baik sejak sebuah buku bersampul kuning dengan tulisan merah tentang bagaimana kekuatan sebuah kebiasaan sangat berpengaruh terhadap kehidupan seseorang dan memberi dampak yang cukup besar. Namun aku disini sedang tidak membicarakan buku tersebut. Ini hanyalah sebuah prolog untuk narasi yang barangkali sedikit panjang yang aku pastikan tidak ada kaitannya dengan apa yang aku tulis diawal.
Begitulah caraku menulis seperti aku sedang berbicara pada diri sendiri, tak berarah dan dan tidak terstruktur, yang paling penting aku memahami apa isi daripada yang aku katakan. Meski barangkali lain halnya jika apa yang menjadi isi pikiran kita bertujuan untuk bisa dimengerti oleh orang lain, melalui cara apapun salah satunya adalah lewat tulisan, tentu isinya harus memiliki makna, terarah dan kita tahu goals apa yang ingin dicapai dari tulisan tersebut.
Bukan hanya menulis apa yang ingin ditulis, namun aku harus menulis apa yang memang harus aku tulis, itulah yang aku pelajari dari seorang penulis Andrea Hirata, kenapa tiba-tiba ada nama Andrea Hirata? Karena beberapa hari lalu aku baru saja membaca bukunya. Ini menarik, sebetulnya aku tidak terlalu suka membaca novel tapi belakangan ini ajaibnya sudah banyak novel yang aku baca, ternyata ini menarik dan menakjubkan dari cerita fiksipun kita bisa belajar menemukan motivasi baru untuk sesuatu hal yang ingin kita lakukan, atau yang baru saja terpikir untuk dilakukan.
Tentu sama seperti halnya film fiksi, tulisan fiksipun tidak selalu sama denga realita kehidupan, namun menurutku seorang penulis pun melakukan riset yang tidak mudah untuk bisa melahirkan karya yang related dengan kehidupan, iapun tak pernah berhenti belajar agar apa yang ditulisnya memiliki nilai dan pesan moral bagi pembaca.
Kembali pada apa yang menjadi cerita singkat ku kali ini, yang sebenarnya bahwa aku ingin banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang sedikit aku cerna beberapa hari kebelakang. Tentang hal-hal yang acak dan dilebih-lebihkan oleh imajinasiku, meski begitu ada makna disana dan aku bisa belajar darinya, akan lebih baik jika itu juga bisa disenangi oleh orang lain. Satu cerita yang berkesan menurutku adalah bagaimana seorang temanku akhirnya membuat aku kembali berfikir dan sedikit terharu tentang apa yang ia lakukan kemarin. Pertama aku jadi kembali memahami bahwa benar adanya kita harus lebih berhati-hati dalam berbicara, dan harus berpikir sebelum mengatakan sesuatu, mengapa begitu? karena terkadang kita mudah melupakan hal-hal yang pernah kita ucapkan tapi tidak dengan orang lain yang mendengar.
Menurutku disini ada banyak sekali pembahasan soal bagiamana sebuah kalimat yang keluar dari mulut bisa sangat diingat oleh seseorang, meski orang yang mengatakan tersebut sudah tidak ingat apa yang ia katakan. Ada dua jenis ucapan yang akan mudah diingat oleh seseorang, pertama jika ucapan itu sangat melukai perasaan seseorang yang mendengarnya, kedua jika ucapan tersebut berkesan bagi sipendengar. Aku ingat malam itu aku dengan beberapa teman datang dalam sebuah pagelaran seni yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Acara itu berlangsung sejak pagi, aku sempat datang sebentar karena mendaftarkan diri untuk mengisi acara membacakan puisi, puisi yang kutulis sendiri, puisi sederhana tapi aku senang membacanya berulang-ulang.
Aku tidak sendirian, seperti yang selalu menjadi prinsipku, aku tidak ingin melakukan suatu kebaikan, aktivitas produktif, dan hal-hal menarik lainnya sendirian, aku selalu ingin mengajak seseorang untuk sama-sama berkontribusi dan sama-sama bertumbuh, sama-sama belajar, aku dengan salah seorang teman yang juga kebetulan ia menyukai puisi, ia lebih piawai dalam melantunkan syair-syair puisi menjadi indah untuk bisa membacakan puisi bersama sore itu. Tidak banyak orang yang kusapa disana, tidak banyak juga orang yang menonton karena sepertinya malamlah puncak acara tersebut. Seusai kami memainkan peran diatas panggung sederhana yang tidak terlalu besar itu kami memutuskan untuk pulang, dan berencana untuk datang kembali malam hari.
Sore itu indah, matahari berbentuk lingkaran penuh dengan warna oranye yang pekat hampir terbenam, orang beramai-ramai datang mengerubungi sesuatu, sisanya berseliweran lewat entah kemana mereka akan pergi. Sepotong jagung rebus dan segelas es kelapa muda masih utuh disimpan diatas sebuah kursi plastik. Tak ada yang istimewa, tak ada yang bisa kutemukan sebab aku tak mencari apapun.
Ditembok-tembok yang separuh roboh berjejer lukisan-lukisan dengan sarat akan makna, tapi aku tak melihat apapun selain segurat sinar matahari yang datang dari barat, ia akan kembali pada pangkuan Maghrib, sebentar lagi terbenam, dan aku kembali terkenang, pada suatu sore yang sama, tapi bukan ditempat ini, bukan dengan matahari yang seperti ini.
Tidak seperti sore tadi, ternyata malam hari lebih ramai, banyak tamu dari berbagai daerah yang turut meramaikan pagelaran seni tersebut. Selain dihadirkan penampilan teater, drama, dan penampilan musik disana juga ada beberapa bazar yang tidak terlalu banyak. Aku tertarik pada sebuah stand yang berisi buku-buku. Sebetulnya aku tidak terlalu menikmati acara tersebut, bukan karena acaranya kurang menarik, barangkali aku yang sudah berbeda saja seleranya, sebetulnya aku tidak terlalu nyaman berada di keramaian dan dikerumunan orang, aku datang hanya karena sedang mencoba menghibur diri sendiri saat itu, setelah perpisahanku dengan seseorang yang istimewa beberapa tahun kemarin, mencari cara baru untuk menemukan kesenangan.
Aku tidak terlalu suka berbasa-basi jadi hanya menyapa orang-orang yang kukenal sekedarnya dan berkenalan dengan orang-orang baru, atau lebih tepatnya dikenalkan oleh temanku, jujur itu adalah hal yang menyenangkan bisa bertemu dan berkenalan dengan orang baru, meski aku tidak pandai membangun percakapan tapi ya setidaknya kami saling kenal hari itu.
Ditengah kebosananku dalam keramaian, musik yang bukan seleraku membuatku merasa tidak nyaman, tapi memilih pulangpun rasanya enggan, sejak sore tadi aku sudah melirik stand buku-buku tapi sampai malam itupun aku tak melihat ada orang-orang yang mampir kesana, hanya sipenjaga standnya saja yang setia duduk menjajakan buku-bukunya. Tak ada temanku yang mau diajak kesana sehingga membuatku memutuskan untuk menyambanginya sendirian. Meski agak sedikit merasa malu karena tidak ada orang selain aku, tapi yasudah dengan prinsip baruku “gak papa lakukan apapun yang menurutmu baik, dan kamu suka tanpa merugikan orang lain, lakukan, jangan malu. Toh kamu tidak mengenal mereka hanya bertemu sekali ini saja”, begitulah ketika aku ingin melakukan sesuatu dikeramaian atau bersama orang-orang yang tak dikenal untuk mendorongku lebih percaya diri.
Aku tertarik dengan sebuah buku, kalau tidak salah judulnya “Adam dan Hawa” atau barangkali buku tersebut berisi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Aku meminta izin untuk membawa buku itu untuk dibaca selama diacara tersebut, karena ternyata buku itu tidak bisa dibawa pulang hehe. Tidak seperti judulnya yang serius, setelah beberapa halaman dibaca isinya , dalam hati kok ini novel gini ya, unik tapi agak sedikit nyeleneh, tapi juga cukup seru, karena justru kita didorong untuk berimajinasi. Sayangnya tak sampai habis buku dibaca aku harus segera mengembalikannya selepas acara, jadi baru beberapa halaman yang terbaca aku tidak bisa menceritakan lebih banyak, jika teman-teman penasaran bisa cari bukunya ditoko buku terdekat hehe tapi sayangnya aku lupa siapa penulis buku tersebut.
Tapi bukan itu yang menjadi garis besarnya. Setelah acara hampir selesai aku dengan teman-teman memutuskan pulang, sesampainya dirumah, sebentar aku membuka whatsapp, membaca pesan-pesan masuk yang belum sempat aku buka, kemudian sebentar melihat postingan-postingan teman-temanku, ada sebuah postingan dari salah satu temanku, yang ternyata isinya adalah video ketika aku sedang asyik berbincang dengan seorang penjaga stand buku untuk meminta izin meminjam bukunya tadi dengan caption “emang paling gak bisa lihat buku dianggurin”. Darisana aku merasa malu, meski aku juga tak pernah tahu apa yang ada dipikiran orang lain tentangku hari itu, atau barangkali sebenarnya tidak ada yang memperhatikanku hanya ia sendiri temanku yang sempat melihat, memang siapa aku menjadi sorotan hehe, aku saja yang kepedean sendirian.
Tidak lama notofikasi Instagram muncul, dari temanku yang sama, rupanya ia juga memposting video tersebut diinstagram dan menandaiku didalamnya, dengan caption yang lebih panjang dari postingan di whatsapp, yang aku ingat ia menulis seperti ini “Teina pernah bilang, kalau kita ternyata ilmunya masih kurang ya” kurang lebih itu yang ia tulis, tapi sebelumnya aku ingin mengenalkan siapa temanku ini, ia namanya Novi, lebih muda dariku entah berapa tahu, tapi rasanya cukup sedikit jauh hehe tapi bukan masalah buatku berteman dengan siapa saja, toh kebanyakan memang temanku lebih muda usianya dariku. Setelah melihat itu justru aku terenyuh. Bahkan aku sendiripun tidak ingat pernah mengatakan itu pada siapapun, dan ada seseorang yang masih mengingat itu sampai sekarang, bagiku itu adalah sebuah kehormatan yang luar biasa.
Setelahnya aku berfikir ulang, wah benar bahwa kata-kata itu punya pengaruh yang kuat. Bahwa aku akhirnya belajar dari seorang temanku ini, ia sudah menjadi alarm untukku tentang bagaimana kita harus bisa menjaga lisan, berpikir sebelum berbicara dan berusaha untuk berkata baik pada siapapun termasuk pada diri sendiri. Sebab kata-kata yang keluar dari mulut bisa menjadi senjata, bisa menjadi racun bahkan bisa menjadi penawar bagi seseorang, tergantung kita ingin diingat seperti apa oleh orang lain. Akan lebih bagus jika apa yang diucapkan bisa menularkan kebaikan pada siapapun yang mendengar, dan aku percaya kebaikan itu pula yang akan kita terima nantinya.
Seperti apa yang aku sudah ceritakan sebelumnya, dan luar biasanya adalah apa yang temanku bagikan pada laman linimasi media sosialnya dan dengan catatan yang membuat aku justru merasa kagum terhadapnya ternyata itu juga menularkan energi baik untukku. Membuat aku akhirnya kembali tahu apa yang harus aku lakukan untuk bisa menyambung estapet kebaikan itu kembali pada orang-orang lebih banyak. Menulis apa yang harus kutulis dan menjadi apa yang seperti kutulis, tentu itu bukan pekerjaan mudah, tapi itu adalah tantangan.
Aku tidak mengatakan diriku sebagai penulis, sebab aku jauh dari kata itu, tapi jika aku menyebutkan diriku senang menulis ya meski tidak sering, dan tidak hebat, tapi aku mau belajar itu, dan ada satu kutipan dari sebuah serial drama korea yang aku tonton adalah “Jika kau ingin menjadi penulis, maka kau harus menjadi apa yang kau tulis”, aku mengerti disini maksudnya, aku kira begini ketika kita memutuskan untuk menjadi penulis, atau memang hanya sekedar hobi namun ingin sekali tulisan kita bisa dibaca oleh orang lain, bukankah berarti kita akan berusaha menulis hal-hal baik? Maka jika kita bisa menulisnya dan berbagi dengan orang-orang lain tentu aku percaya dimanapun seseorang berada, diantara banyaknya manusia ada yang sendikitnya akan terpengaruh oleh tulisanmu, dan disitulah maksud kutipan itu bagaimana kita juga harus menjadi apa yang kita tulis, itu tanggungjawab yang sangat berat menurutku.
Bukan berarti aku senang menulis dan menulis seperti ini karena aku hebat dan baik, tidak! barangkali melalui ini aku belajar dan siapapun bisa belajar. Apa yang kita tulis barangkali itulah cerminan diri kita (setidaknya dan seharusnya begitu) menurutku. Lagi-lagi apa yang aku catat ini hanya sebuah catatan perjalanan biasa yang sayang jika tidak diuraikan lewat apapun jadi apapun yang menjadi tulisanku itu hanya pandanganku, yang tentunya sudut pandangnya masih terbatas, dan setiap orang memiliki narasi yang berbeda tentang apa yang kutulis.
Satu kalimat yang selalu aku senangi, yang itu juga pernah kudengar dari seorang kawan, aku lupa siapa yang mengatakannya tapi aku ingat kalimatnya begini “Bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru”, itulah yang hari ini menjadi garis besar catatan ringanku tentang cerita malam pagelaran seni yang belum lama aku datangi, tentang temanku yang mengingat apa yang kuucapkan entah kapan dan aku tidak menyangkan itu masih lekat diingatannya, dan aku berterimakasih karena sudah kembali diingatkan, itu menjadi suntikan baru untukku agar terus berkarya, dan mencoba untuk membagikan karya yang sederhana kepada siapapun, dan kuupayakan apa yang kutulis adalah hal-hal yang juga aku dapati dari orang lain sebagai pelajaran lewat sudut pandangku yang masih dangkal.
Komentar
Posting Komentar