Ketika pendidikan perempuan masih dilekatkan pada peran domestik

Perempuan yang sedang mengupayakan keberdayaan dirinya haruslah terus didukung. 

***
Berbicara soal feminisme dan gerakan perempuan dalam menyuarakan kepentingan perempuan diberbagai isu tentu bukanlah pembahasan yang singkat. Setelah 20 tahun sejak reformasi, gerakan dan pemikiran perempuan terus berkembang, hal ini dapat dilihat dari banyaknya kemunculan berbagai organisasi yang didirikan untuk menyuarakan dan membela kepentingan perempuan dalam berbagai isu. Meski begitu, persoalan-persoalan yang telah diperjuangkan sejak dulu hingga hari ini masih dihadapi oleh kaum perempuan. 

Perempuan hari ini sudah cukup berdaya, sebagian besar sudah memiliki kesadaran atas hak-hak dan kewajibannya, memahami apa yang ingin diperjuangkan, perempuan hari ini memiliki cita-cita besar dan menyadari bahwa keberdayaan perempuan memiliki dampak dan daya dorong yang besar bagi perubahan sosial. 

Meski demikian, perjuangan perempuan belum selesai sampai disini, ditengah keberdayaan dan kesadaran perempuan, nyatanya konstruksi sosial yang patriarki masih belum hilang. 

Banyak konstruksi sosial yang dilekatkan pada perempuan, yang masih menempatkan perempuan sebagai mahluk inferior salah satunya adalah terkait isu pendidikan. Kita tentu sudah tidak asing dengan kalimat bahwa "percuma sekolah tinggi ujung-ujungnya cuma ngurusin rumah tangga, atau juga dengan istilah perempuan harus berpendidikan tinggi sebab ia akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya". 

Saya sedikit ingin bercerita terkait hal ini. Beberapa hari lalu saya membaca sebuah artikel tentang stereotipe perempuan harus berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya, saya jadi teringat tentang bagaimana saya pernah berbincang terkait hal ini dengan beberapa kawan lama. 

Semula menurutku tidak ada yang salah dengan kalimat itu, dan saya mengaminkannya. Saya memahami bahwa kalimat itu bertujuan untuk mengatakan bahwa perempuan berhak untuk mengenyam pendidikan tinggi seperti juga laki-laki, dan ingin menunjukkan bahwa benar perempuan juga memiliki peran penting dalam sebuah kehidupan maka ia harus berpendidikan.

Saya sepakat jika pemaknaan bahwa perempuan harus berpendidikan diletakkan pada semangat pendidikan untuk perempuan agar memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki, dan sebetulnya tidak ada yang salah juga dengan prinsip bahwa perempuan harus berpendidikan tinggi sebab harus cerdas dan akan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, dengan begitu perempuan akan merasa bahwa ilmu dan pengetahuannya berguna.

Namun yang kurang saya sepakati adalah ketika pendidikan perempuan hari ini masih dilekatkan dengan tujuan peran domestik yang dibebankan kepada perempuan, ditengah konstruksi masyarakat yang patriarki, kesadaran pengasuhan anak masih dibebankan terhadap perempuan.

Padahal seyogyanya, pendidikan perempuan bertujuan untuk membentuk dan membangun perempuan agar menjadi manusia yang berilmu agar ia menjadi perempuan berdaya dan mampu memberdayakan orang lain, yang tentunya hal ini akan berdampak pada kemajuan kehidupan sosial. Sama dengan halnya laki-laki perempuan juga memiliki peran penting dalam kemajuan bangsa, oleh karenanya tujuan pendidikan perempuan tidak boleh dibatasi hanya untuk ditempatkan pada peran domestik dalam pengasuhan anak saja. 

Sebab dalam sebuah pengasuhan anak tentu harus disertakan peran kedua orang tua, hal itu sudah menjadi tanggungjawab dan kewajiban keduanya. Yang artinya baik perempuan atau laki-laki harus menjadi manusia yang berilmu, cerdas dan berpendidikan. Jikapun perempuan dan laki-laki memilih untuk menikah dan memiliki anak artinya keduanya telah bersepakat bahwa mereka memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak, yang juga artinya keduanyalah sebagai sekolah pertama bagi anak-anak mereka. 

Untuk dapat membentuk generasi yang hebat tentu terletak pada pola pengasuhan dan pendidikan yang tepat yang dilakukan oleh orang tua, dan hal itu sepatutnya tidak hanya dibebankan pada satu orang saja, yaitu perempuan yang berperan sebagai ibu.

Kita perlu terus memupuk rasa peduli dan menghargai sesama manusia, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama dalam memperoleh kesempatan belajar dan berpendidikan yang baik untuk dirinya, agar bisa membawa dampak yang baik bagi lingkungannya.

Saya meyakini bahwa setiap perempuan memiliki pilihan yang berbeda, kondisi yang dialami membentuk keputusan perempuan untuk menjadi seperti apa. Beberapa kondisi memaksa perempuan harus memilih keputusan yang tidak sesuai dengan keinginannya, hal ini menjadi sebuah dilema sebagai perempuan yang mengemban tuntutan besar dari masyarakat terhadap situasi dan pilihannya. 

Namun, saya percaya bahwa tidak ada usaha yang dilakukan dengan baik termasuk pendidikan bagi perempuan menjadi sia-sia hanya karena perempuan tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat yang hanya membatasinya pada konstruksi sosial.

Perempuan yang sedang mengupayakan keberdayaan dirinya haruslah terus didukung.




Komentar

Postingan Populer