Nyanyian Perempuan Pelupa
Ia adalah perempuan biasa, yang hanya hidup dalam lembar-lembar kertas yang ia sobek-sobek, diwarnai dengan acak oleh cat-cat akrilik, tercecer pada lantai, seingatku putih warnanya.
Kanvas-kanvas kecil penuh dengan tarian khas yang menyala-nyala dan berliuk-liuk.
Tak ada yang tau apa yang ia lukiskan, tak tau apa yang terbentuk, tapi itu indah, tapi itu tak beraturan. Katanya ia tak tahu cara mengekspresikan perasannya!. Tapi lihatlah kau lebih dalam, singgah sebentar dalam sebuah ruang itu! Tak ada orang yang tertarik kesana tapi kau harus lihat gambar itu, cat-cat itu, warna-warna itu adalah perasannya.
Sebagai perempuan, sebagai manusia ia melihat dirinya tak lagi bersinar terang, cahayanya nyala mati tak tentu. Terus berkutat pada lingkaran yang sering membuatnya tercekat. Berkutat pada warna-warna yang sama. Rupanya ia tak lagi pandai memilah warna.
Membosankan ujarnya, seringkali ia berbicara sendiri.
Tak ada siapapun yang diajak bicara, tak ada siapapun yang mengajaknya bicara, tak ada yang datang padanya, dan ia memilih tak datang pada siapapun. Dunianya luas namun ia memilih untuk sendirian, tak ada yang tau apa yang dipikirkannya, hanya sesekali terdengar suara kecil berbicara sendirian bahwa tak ada yang lebih bajingan daripada kehidupan yang membosankan dan tak melakukan apapun. Tapi ia melakukan banyak hal, tapi ia tetap merasa bosan. Apa manusia memang begitu?
Katanya ia ingin berhenti, tapi ia tak bisa berhenti, baginya kehidupan tak lain serupa menunggu antrian, menunggu giliran pulang, sampai saat itu tiba ia hanya harus menjalani hidup.
Baginya hari ini ia tak ada beda dengan kebanyakan perempuan. Hanya hidup untuk berjalan biasa saja sampai akhir. Menyelamatkan diri dari hal-hal runyam, menjadi pecundang yang takut mengambil keputusan. Bersembunyi dibalik rasa nyaman, semu! Tapi ia tetap melakukannya.
Mengapa aku menjadi payah? Demikian sederet tanya dalam segurat senyum buatannya. Makna payah dan hebat menjadi abu-abu. Tak ada orang payah baginya, semua hanya butuh waktu, ia menyangkal. Tak ada orang payah dimatanya, hanya mereka yang tak memiliki kesempatanlah yang masuk dalam kepayahan yang dibuat-buat itu. Mereka yang tak menciptakan kesempatanlah yang menjadi payah. Lalu mengapa sebenarnya seseorang bisa menjadi payah? Siapa yang salah atas kepayahan hidup seseorang?.
Lalu waktu bergegas menuju gelap, lampu-lampu dipadamkan namun matanya masih bersinar tajam, apa yang dilihatnya dalam gelap? Hanyalah langit-langit yang menyala remang, pantulan cahaya kota menyusup lewat jendela menjadi satu-satunya sinar.
Deret waktu yang berjalan lambat menghilangkan separuh nyawa dalam dirinya yang membara, kini tak ada lagi ambisi, Ia lebih tenang atau barangkali sebenarnya ia telah hilang. Tak lagi memikirkan hal rumit, pikirannya lebih sederhana hingga menjadikannya seorang yang tak banyak mengambil pusing tentang banyak persoalan.
Waktu telah membentuk dirinya menjadi perempuan yang seperti itu, sesekali ia bertanya kemana ia telah pergi, yang menetap adalah ia yang lain yang tak pernah kuketahui. Apakah yang sebenarnya orang lain lihat? Ia atau ia yang lain saat ini? Sesekali juga ia tak peduli tentang bagaimana ia dilihat oleh dunia. Peduli apa ia pada hal-hal yang tak pernah benar-benar menjadi saksi atas kehidupannya yang lebam itu.
Hari kehari ia menyadari bahwa ia adalah perempuan dan manusia biasa, tak lagi menjadi keras kepala. Waktu membuatnya menjadi seorang pelupa, waktu menjadikannya seorang yang tak lagi pandai bicara. Kata-katanya tertelan seiring waktu. Lampu-lampunya padam dimakan waktu.
Namun ia melupakan satu hal, bahwa ada yang tak pernah benar-benar hilang dan mati dalam dirinya. Adalah keinginan untuk kembali bersinar, keinginan untuk kembali hidup. Yah! Keinginan yang kuat adalah yang tersisa, ia melupakan itu.
Waktu ke waktu Ia mulai kembali menyusun kehidupannya yang sempat tak beraturan, ia kembali merencakana kehidupannya, tak perlu sempurna yang terpenting apakah hidupnya berguna demikian ia bicara.
Kemudian ia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya untuk menjadi yang seperti dulu, keinginan yang kuat menjadi kekuatan besar yang lahir secara alami dalam dirinya. Isi kepalanya penuh dijejali oleh rencana, meski belum tentu esok menjadi nyata.
Keinginan merapikan hidupnya yang porak poranda adalah satu tanda bahwa ia bukan perempuan biasa.
Ternyata keberpihakan hidup masih menjadi abu-abu, apa yang terjadi masih dianggap hal baik dan harus disyukuri. Bahwa katanya ia hanya perlu menerima nasib, tak menjadi apa yang diinginkan bukan akhir, bukan kesalahan itu adalah suratan. Ia tak lagi berkata-kata, seolah membenarkan. Barangkali benar, ia hanya perlu menerima garis hidupnya yang demikian. Makna upaya dan perjuangan yang berdarah-darah hanya menjadi sejarah.
Komentar
Posting Komentar