feminisme: keseimbangan
Gerakan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan sudah hadir sejak berabad-abad lalu, bermula dari para aktivis perempuan barat yang merasa tertindas, dimana pada abad ke 17 perempuan tidak mendapatkan ruang yang sama seperti laki-laki dalam partisipasi politik, tidak diberi kebebasan berpendapat serta tidak diberi hak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Kegelisahan inilah yang melandasi gerakan feminis dimasa itu. Namun rupanya konstruksi budaya patriarki yang sudah mengakar dan terinternalisasi, mengakibatkan perempuan mengalami penindasan bukan hanya pada aspek politik saja, namun diberbagai aspek lainnya seperti sosial, budaya, dan pendidikan. Hal-hal tersebut saling terhubung dan mempengaruhi satu sama lain.
Seiring berkembangnya kehidupan sosial dan meningkatnya kesadaran kritis para perempuan hari ini, pada akhirnya perempuan berhasil mewujudkan kesetaraan dan memperjuangkan haknya untuk bisa terlibat dalam aktivitas publik dan berkontribusi memberikan suara dan hak pilihnya. Semakin massifnya perjuangan kesetaraan yang dilakukan oleh perempuan tidak mengakhiri perjuangan gerakan feminisme, sebab ketidakadilan dan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial masih terus terjadi.
Jika kita membaca feminisme dari sejarah timur, ketertindasan, diskriminasi dan ketimpangan yang dialami oleh perempuan hadir sebelum Islam datang, hal ini dapat dilihat dari berbagai kisah pada masa itu dimana anak perempuan yang lahir boleh dibunuh, hal itu merupakan salah satu cerminan daripada budaya patriarki yang kental pada masanya. Sistem patriarki membentuk relasi antara perempuan dan laki-laki menjadi timpang, relasi yang membentuk laki-laki sebagai subjek tunggal sedangkan perempuan sebagai objek, menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tidak diperhitungkan keberadaannya pada masa itu.
Sampai pada Islam membawa cita-cita bagi kesetaraan manusia. Kesadaran yang dibawa Islam terkait relasi perempuan dan laki-laki adalah bahwasannya laki-laki dan perempuan diciptakan bukan hanya sebagai makhluk fisik, dan objek seksual, lebih dari itu manusia dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai makhluk intelektual, sebab mereka memiliki akal, juga sebagai makhluk spiritual karena memiliki hati nurani.
Daripada cita-cita Islam yang sangat jelas menempatkan perempuan dan laki-laki sama sebagai makhluk yang berakal dan berhati nurani, menjelaskan feminis muslim dan feminis modern (barat) pada dasarnya memiliki cita-cita yang sama yaitu adalah untuk memperjuangkan eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial diberbagai struktur kehidupan.
Meski dalam prosesnya, hadir berbagai aliran feminisme, melahirkan banyak sudut pandang, dan fokus isu yang diperjuangkan dari setiap aliran berbeda, tentu hal itu lahir atas respond daripada kondisi yang dialami oleh perempuan pada masanya. Dan kondisi itu tidak sama diberbagai tempat, diberbagai daerah dan situasi. Maka yang bisa menjadi catatan kita agar tidak cacat berfikir dalam memaknai feminisme, adalah melihat kedalam diri apa yang menjadi kegelisahan dan kebutuhan dari diri kita, lingkungan sosial serta menyesuaikan gerakan perjuangan mewujudkan eksistensi tersebut dengan tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi masyarakat yang masih sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak merendahkan manusia, baik itu perempuan ataupun laki-laki.
Tentu tidak semua budaya masyarakat itu sakit, tidak semua budaya dalam masyarakat itu salah, ada nilai-nilai kearifan lokal yang masih harus kita hargai keberadaannya. Kita tidak bisa mencocokkan paksa antara budaya masyarakat barat dengan budaya masyarakat kita di Indonesia, sehingga isu-isu yang diangkat serta gerakan dalam perjuangan feminisme akan berbeda.
Dalam hal ini tentu kita akan melihat bahwasannya kesetaraan yang hari ini masih terus diperjuangkan oleh feminisme bukan hanya berbicara tentang kemerdekaan kaum perempuan namun juga tentang bagaimana laki-laki merupakan bagian penting daripada perjuangan ini. Berbicara feminisme bukan hanya bicara peran perempuan namun juga bicara peran laki-laki.
Feminisme yang sesungguhnya adalah bukan untuk mewujudkan eksistensi perempuan dengan berusaha melemahkan laki-laki dan menganggapnya sebagai musuh, namun feminisme hadir sebagai bentuk perjuangan untuk mewujudkan kemaslahatan, dengan dasar bahwa laki-laki dan perempuan merupakan pemimpin dimuka bumi, dan sebagai makhluk intelektual yang sama-sama memiliki kewajiban mewujudkan kemaslahatan itu sekaligus menikmatinya.
Sumber foto: pinterest
Komentar
Posting Komentar