perempuan itu Praya: bagian mencari



Siang ini matahari cukup terik, belakangan udara memang kurang baik. Orang-orang lebih memilih berdiam diri didalam rumah jika tak ada keperluan mendesak daripada harus bercucuran keringat karena panas yang menyengat. Praya bersiap untuk pergi ditemani teman baiknya satu-satunya. Sebetulnya sejak pagi Praya tiba-tiba merasa ragu apa ia harus tetap memutuskan untuk pergi atau tidak, tapi ia sudah terlanjur berjanji pada temannya. Memang benar bahwa seharusnya kita tidak boleh membuat janji ketika sedang merasa senang dan menggebu-gebu, sebab jika berubah pikiran tak enak jika harus membatalkan janji tanpa suatu alasan yang mendesak.

Tepat pukul dua Ara datang, sementara aku masih bersiap-siap. Ara bertanya sekali lagi meyakinkanku apa aku akan benar-benar pergi kesana?. Ah mengapa Ara bertanya ketika justru aku sendiri meragukan keputusanku semalam yang menggebu-gebu itu. Aku meyakini bahwa itu pilihan yang baik, tidak ada yang salah dengan keputusanku, jikapun aku akhirnya merasa tidak nyaman, aku dan Ara hanya perlu merencakan tujuan lain agar tidak terlalu merasa rugi karena sudah menghabiskan waktu untuk perjalanan panjang ini.

Kupikir gila sekali seorang aku bisa sebegininya berupaya sampai rela pergi jauh-jauh ke tempat itu, jika dipikir kembali bukankah lebih baik dirumah saja? itu lebih nyaman. Sepanjang perjalanan aku memikirkan strategi bagaimana jika aku bertemu dengannya tanpa sengaja ditempat itu atau kemungkinan lain bahwa kami justru tidak bertemu. Aku masih terus bergumul dalam kepala, padahal aku hanya harus mengabarinya bahwa aku akan datang untuk menemuinya dan menanyakan apa ia bisa menyempatkan waktu untuk menemuiku sebab ada hal penting yang harus aku sampaikan. Sebetulnya tidak terlalu penting baginya, aku hanya ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan lewat saluran udara, juga sekaligus pemberitahuan bahwa aku akan pindah ke kota lain meski itu bukan hal yang penting baginya, setidaknya aku ingin ia tahu itu. 

Aku dan Ara berangkat ketika matahari masih semangat menyala terang, Ara yang membawa motor sementara aku yang menunjukkan jalan. Dengan bermodalkan google maps aku meyakini bahwa alamat yang kumaksud itu benar. Setelah menempuh kurang lebih tiga jam perjalanan, akhirnya kami tiba pada lokasi yang kucari digoogle maps, tapi kulihat sekeliling tidak ada apapun selain rumah-rumah dan warung biasa. Tentu aku dan Ara kebingungan tempat yang kami maksud tidak ada, tidak ada bangunan kantor seperti yang seharusnya.

Ara menunjukkan sebuah tempat, toko yang terlihat sudah lama tutup, halamannya kotor dan berdebu, tertulis didepannya sebuah nama yang kucari, nama perusahaan tempat seorang yang kucari bekerja, tapi itu tak seperti sebuah perusahaan yang sedang beroperasi. Lebih tepatnya bekas bangunan yang lama tak terpakai, tapi alamatnya benar, ujarku pada Ara dan Ara membenarkan itu sebab jelas sekali kami melihat nama perusahaan itu masih terpajang didepan gedung.  Apakah kantornya pindah? Dimana? Tak ada jejak yang bisa kutemukan selain daripada tempat yang hari ini kami lihat, tidak ada informasi lain tentang perusahaan itu, tapi aku meyakini bahwa disinilah lokasinya, tapi pindah kemana.

Terakhir yang kuingat daripada kantornya jelas berbeda dengan foto yang pernah dikirim olehnya. halaman kantornya bukanlah jalan raya besar seperti ini, lebih seperti jalan raya kecil, yang bisa kusimpulkan adalah kantornya terletak disebuah tempat yang jauh dari jalan raya besar, masuk gang, tapi kami tidak melihat ada gang yang setidaknya muat satu mobil disekitar bekas kantor tersebut.

Kuingat lagi terakhir ia bicara soal tempat kerjanya adalah lewat sebuah pasar dan dekat masjid, itu jaraknya jauh lagi dari tempat kami berhenti saat ini, tapi tidak ada informasi apapun di google map. Kami tidak mencoba bertanya kepada penduduk sekitar, akhirnya aku mengajak Ara untuk datang pada satu tempat yang aku yakini kali ini benar, jaraknya lebih jauh, beruntung Ara masih mau menemaniku. Setelah kami menuju tempat yang pernah ia ceritakan tidak ada petunjuk apapun, map mengarahkan kami pada lokasi kedua, tapi tidak ada tempat yang aku maksud. Ara menyerah, sementara aku masih ingin mencarinya sebab aku meyakini bahwa alamat itu benar ada didaerah ini, entah dijalan yang mana harusnya aku terus mencari, namun aku merasa tidak enak dengan Ara, dan waktu sudah hampir petang, kami tidak bisa pulang terlalu malam sebab perjalanan yang jauh melewati hutan-hutan dan Ara tidak bisa pulang terlalu larut. Kami terpaksa mengakhiri pencarian alamat tersebut, dengan sisa-sisa penasaran yang masih besar dan keinginan untuk terus mencari yang menggebu aku memaksakan diri untuk memutar arah, mengurungkan niat untuk mencari tahu.

Kami pulang dengan tangan kosong, tanpa jawaban dan rasa penasaranku masih terkemas dengan rapi. Padahal aku bisa saja mempermudah pencarianku tanpa harus menghabiskan waktu untuk berkeliling mencari sesuatu yang tak memiliki petunjuk. Aku hanya harus menghubunginya dan bicara bahwa aku sedang berada didekat dengan tempatnya bekerja dan memintanya untuk menemuiku, tapi aku tak melakukan itu. Harga diriku terlalu tinggi untuk melakukannya, dan lagipula aku tak memiliki ruang untuk bisa melakukannya lagi, aku harus tahu diri ditengah ketidaktahuanku atas apapun yang menjadi alasan mengapa kami harus berakhir dengan cara yang buruk.

Kami memutuskan untuk menyerah, kupikir memang Tuhan belum memiliki keinginan  yang sama dengan keinginanku, Tuhan enggan mempertemukan kami diketidaksengajaan manapun, maka ini memang sudah berakhir. Setelah hari ini kami tak lagi akan bertemu dalam sebuah kesempatan manapun, kecuali Tuhan berubah pikiran. Esok aku harus pergi dari kota ini, meninggalkan kota yang penuh dengan ingatan, cerita dan perjalanan panjang, semuanya harus kututup hari ini dengan akhir bahwa aku tidak bisa menciptakan ketidaksengajaan yang dibuat-buat, Tuhan belum merestui upayaku hari ini rupanya. 

Tapi bukan masalah, selepas hari ini, selama perjalanan, justru aku kembali menemukan bagian-bagian diriku yang belakangan ini seringkali hilang datang, mudah terpengaruh oleh beberapa keadaan, lebih seringnya adalah jika bersinggungan dengan namanya, situasi perasaanku mudah berubah. Justru selama perjalanan bersama Ara, meski ia kuyakin tidak melihat itu dariku, jauh didalam diriku, aku kembali mencari tahu apa yang menjadi alasanku untuk mencari, dan alasanku mengapa harus berhenti. Tapi satu hal aku tak pernah membiarkan apapun secara paksa untuk berhenti, lebih kepada membiarkannya berhenti dengan sendirinya.

Sebelum kami menuju rumah, ditengah perjalanan kami tertarik pada sebuah warung kopi, dengan pencahayaan yang oranye tidak banyak orang disana, aku mengajak Ara untuk mampir sebentar. Kami terlalu fokus mencari sampai lupa untuk sekedar minum setengah harian ini. Kami memesan makanan ringan dan minuman untuk mengisi perut, beruntung sebelum pergi kami sempat makan siang dirumahku.

Meski tak ada hasil apapun, setidaknya sepanjang perjalanan pulang kami disuguhkan oleh hamparan lautan, ombaknya sedang tinggi dan rupanya matahari sedang bagus, tapi kami tidak pergi kesana untuk menikmati matahari tenggelam. Cukup hanya dengan duduk di sebuah warung kopi letaknya disebrang jalan. Jarak antara pantai dan warung kopi hanya dibatasi dengan jalan raya, tidak terlalu besar. Kami bisa mendengar deru ombak dari sini. Jalanan tidak begitu ramai, mungkin karena waktu Maghrib, orang-orang sedang sembahyang. 

Ara mengajakku untuk bermalam dan mencari penginapan didaerah sini, ujarnya agar esok bisa kembali memulai pencarian, mulai dari titik awal agar aku tidak menyesali apapun. Aku berterimakasih atas kebaikannya, tapi esok adalah jadwal keberangkatanku, tiket kereta sudah kubeli beberapa hari lalu, jadi malam ini kami harus kembali, aku perlu mengemasi barang-barangku yang akan kubawa. 

Petang ini adalah petang terakhir aku dan Ara menikmati waktu bersama, entah kapan lagi kami akan seperti ini, yang jelas pasti butuh waktu lama untuk bisa kami bercengkrama. Kesibukanku akan lebih padat dan tidak mungkin sering datang kesini. 

"Bukankah biasanya ia juga sering main disekitaran sini?" Ucap Ara memecah petang yang remang. Betul kataku, aku juga tahu tempat dimana ia sering menghabiskan waktu, dan warung kopi ini juga pernah kami datangi dua bulan lalu. Kau tak mau mencoba untuk kesana? Tanya Ara coba memberi ide. Itu ide bagus Ara, tapi aku suda berubah pikiran jawabku singkat.

Kopi kami hampir habis, warung kopi masih sepi hanya ada aku, Ara dan pelayan warung kopi itu, usianya masih muda kira-kira seusia denganku atau lebih dewasa satu tahun. Ia mendatangi meja kami, katanya semakin malam warung kopi ini semakin ramai ada live acoustik juga, ia tidak keberatan kami duduk lebih lama disini. 

Aku ingat satu hal yang belum sempat kudiskusikan dengan Ara, perihal usaha yang kami rintis bersama. Aku mencoba membahas itu selagi ingat, bahwa bagaimanapun aku ingin usaha yang memang dibangun dengan berdarah-darah ini tetap terus berjalan aku menitip pesan ini kepada Ara, dia boleh merekrut siapapun yang mau berkomitmen menggantikan aku, sementara aku ditempat baru juga akan merencakan pengembangan usaha tersebut disana, jadi kami tetap berelasi dan berusaha sama-sama dalam jarak jauh, aku percaya ini bisa tetap berjalan selama kami yang terlibat terus berkomitmen dan mau bersusah payah. 

"Ara, apapun yang terjadi aku percayakan usaha ini kepadamu, aku akan mengembangkan usaha yang sama ditempat tinggal baruku, aku juga mengamanahkan usaha ini kepada orang kepercayaanku, aku berharap kalian bisa bekerja sama dengan baik, jika ada apa-apa kalian bisa kabari aku ya, maaf aku terlambat menyampaikan ini, harusnya kita diskusikan sejak lama, keputusanku inipun mendadak ra" ujarku pada Ara yang masih menyeruput minumannya kali ini sudah yang kedua cangkir kopi.

Ia sudah mengambil keputusan besar untuk berhenti dari pekerjaannya dan memulai bisnis bersamaku, bersyukur usaha kami mulai stabil setelah dua tahun berusaha sangat keras, kami berdua sudah bisa melihat sisi terang dari bisnis yang kami rintis dari nol bersama. Aku kagum terhadap sikapnya yang mau mendedikasikan diri diusaha kami yang belum dikatakan mapan, sedang aku belum bisa mengambil keputusan besar itu, aku masih harus membagi waktu dengan pekerjaan utama dan bisnis kami, ini juga sebagai salah satu rencanaku dan disepakati oleh Ara, agar setidaknya kami memiliki investor untuk proses pengembangan usaha kami, ya dari hasil gaji di pekerjaan utamaku itu.

Benar yang dikatakan pelayan warung kopi, semakin malam warung semakin ramai, orang-orang berdatangan satu persatu, suara-suara sound mulai berbunyi, penampilan live acoustik akan segera dimulai, rupanya memang ditempat ini juga akan berlangsung acara, kami yang awalnya berencana untuk tidak pulang terlalu larut, malah menjadi betah berlama-lama disini.

Pelayan warung kopi itu berkata bahwa sedang ada kegiatan nonton bareng dalam rangka memperingati hari perempuan internasional, kegiatan ini diselenggarakan oleh organisasi perempuan didaerah itu, kami dipersilakan untuk mengikuti kegiatannya karena memang acara tersebut dibuka untuk umum. Aku dan Ara yang memang notabenenya juga tertarik dengan isu-isu perempuan akhirnya memutuskan untuk mengikuti acara tersebut. 

Acara dimulai, kami memilih duduk di paling depan, katanya ada 3 narasumber yang akan menjadi pemantik diacara tersebut, 2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Dua orang pemantik sudah siap duduk dipaling depan ujung, dekat dengan layar sementara satu orang laki-laki masih dalam perjalanan begitulah yang kami dengar dari percakapan para panitia pelaksana yang sibuk memastikan acara berlangsung dengan lancar. Tidak butuh waktu lama, panitia memberi isyarat kepada panitia lain yang memandu acara untuk bisa memulai acara sebab pemantik lainnya sudah datang, genaplah ketiganya duduk bersamaan disana. 

Rupanya aku salah mengira Tuhan, yang sepanjang tengah hari yang terik aku bersusah payah mencari sesuatu, hingga tersesat disebuah tempat asing, sampai kami terdampar di warung kopi yang setidaknya menjadi obat dari kesia-siaan yang kami alami dalam perjalanan panjang ini, ketika aku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengharapkan apapun dari Tuhan, tak memaksa Tuhan menghendaki apa yang aku kehendaki, justru saat itu Tuhan memberikan apa yang pernah aku minta. Benar orang berkata bahwa Tuhan justru akan datang dengan tangan-tangan ajaibnya ketika hamba-Nya sudah pasrah. 

Aku langsung mengenali wajah itu, wajah yang setengah harian ini aku cari, justru tiba-tiba ia datang duduk disebrang sana. Ia menjadi pemantik diacara tersebut. Ini gila, batinku. Hal tak terduga itu benar terjadi, Tuhan menghendaki kehendakku. Ketidaksengajaan itu Tuhan wujudkan dengan cara yang tidak pernah aku pikirkan. Ia langsung menyadari keberadaanku yang juga duduk dibagian depan, tepat berhadapan dengannya dari jauh sebrang, ia tersenyum lebar, sementara aku masih mematung, berwajah merah malu juga sekaligus bersalah pada Tuhan.


Sumber foto: pinterest


**Bersambung 

Komentar

Postingan Populer