perempuan itu Praya: memulai kembali
Belakangan ini banyak yang mengganggu pikiranku, aku tak mengenali setiap yang datang dan setiap yang pergi, tak mengenali setiap yang berisik, tapi rupanya kepalaku terus terusik pada sesuatu yang tidak tahu apa. Sesuatu yang tak terlihat, tapi dekat dan sangat melekat. Barangkali jauh dalam diriku mungkin sebenarnya tahu tentang suara-suara, warna-warna dan letupan itu, tapi tak ada yang bisa dijelaskan, atau aku hanya tidak tahu bagaimana cara menguraikannya.
Pikiranku porak poranda, tidak setiap hari, hanya di hari-hari tertentu tapi kadang berlangsung cukup lama. Terus berulang dengan pola yang sama. Aku tidak ingin menyerahkan ketakutan dan kekhawatiranku pada pasrah, ingin melakukan sesuatu tapi apa?. Kataku ingin melarikan diri tapi teringat sebuah penjara besar ini membuat siapapun tidak bisa keluar dengan mudah. Siapa yang telah bersepakat memenjarakanku? entah, yang jelas bukan hanya aku didalamnya.
Kata mereka, banyak cara untuk memerdekakan diri, bagiku cara yang banyak hanya untuk mereka yang memiliki dorongan kuat, selain daripada kemauan dan kesungguhan, kita perlu sesuatu yang bisa menopang. Bukan aku tak memiliki itu, jiwaku menggebu, inginnya meletup-letup, rupanya itu saja tidak cukup. Orang-orang bilang aku kurang berusaha, mereka lupa bahwa dikehidupan yang serba tak tentu bentuk usaha sungguh banyak, usaha seperti apa yang dimaksudkan? Mereka bilang kita harus terus punya mimpi, mereka lupa tentang mimpi buruk.
Tahun ini bagiku, cerita berjalan cukup plot twist, aku kira itu hanya terjadi dalam film-film fiksi, rupanya kehidupan sama, serupa film berepisode panjang dengan alur cerita yang menegangkan, tidak kalah menyeramkan dan menakutkan dari sebuah film yang sering kita tonton. Oh, kini aku mengerti sekarang, mengapa setiap orang gemar sekali berkumpul dan bertutur kata amat banyak, bercerita apa saja tentang orang lain. Rupanya film tidak lain adalah gambaran bagimana kehidupan. Kitapun senang berkomentar tentang jalan cerita tokoh dalam film.
Seperti kebanyakan orang, aku juga tidak jarang ikut menimbrung dalam sebuah obrolan, meski lebih banyak mendengarkan dan mengajukan pertanyaan untuk memastikan arah perbincangan tersebut. Yang sering menjadi diskusi mereka adalah tentang perfilman, atau tokoh publik, merk kosmetik, sepatu, pakaian atau berita yang sedang populer di media. Karena mereka menyukai artis Korea, maka seringnya obrolan itu menjadi topik utama dalam setiap perbincangan. Meski aku juga gemar menonton film, drama Korea dan sangat suka mendengarkan musik Korea, aku tidak seperti teman-temanku yang hari-harinya diisi dengan nama dan wajah artis korea. Aku tidak pernah mengikuti berita-berita semacam itu, sebabnya jika sudah hal itu yang menjadi topik obrolan, aku meringsut kembali ke meja kerja, melanjutkan pekerjaan atau apapun yang bisa dilakukan untuk menunggu jam pulang kerja. Bukan tidak suka, hanya merasa tidak akan nyambung dengan perbincangannya, karena tidak banyak informasi yang aku ketahui, selebihnya memang aku kurang tertarik tentang hal-hal tersebut.
Dibeberapa momen itulah aku merasa berada pada tempat yang salah. Tempat yang seiring waktu melunturkan warna-warnaku, terkadang tak membuatku bergairah. Atau memang sebetulnya akulah yang tidak pandai menempatkan diri, idealisme yang kumiliki justru membuatku tidak bisa menyelami lebih dalam. Sebetulnya barangkali tidak ada yang salah dengan semuanya, dengan lingkungannya, hanya bukan disanalah harusnya aku berada. Tapi kehidupan tak memberi kesempatan untuk memutuskan, pilihanku terbatas pada kalimat "iya" atau "tidak". Barangkali bukan hanya aku saja.
Meski begitu aku seorang perempuan yang kuat, kata orang begitu, bagiku terkadang iya, tapi juga tidak. Bukan tak pandai menempatkan diri, aku hanya merasa berbeda, tak suka dengan tekanan dan tuntutan, aku tak suka mengikuti standar dan sama. Aku mengerti batasan dan tahu cara bergaul, menyelam tapi tak tenggelam, mengalir tapi tak terbawa arus, begitulah sosok aku terlihat dimata orang lain, meski terdengar berlebihan, aku merasa tak pantas disebut demikian.
***
Setelah hampir satu tahun tinggal dikota A, tidak membuatku terlepas dari apa yang pernah tinggal saat masih di desa. Aku menjalani kehidupan yang baik, lebih tepatnya sama seperti manusia pada umumnya, bangun pagi, pergi bekerja pulang sore kadang hampir petang jika lembur, malamnya lanjut bekerja paruh waktu begitu setiap harinya. Waktu begitu penuh dengan aktivitas. Meski sesekali diakhir pekan aku meluangkan waktu untuk beristirahat dari pekerjaan, hanya melakukan aktivitas yang disenangi, sesuatu yang masih aku cintai sejak dulu. Melukis, menulis atau pergi kemanapun untuk membaca buku. Hal-hal itu tidak hilang, masih terpelihara dengan baik. Bagiku melukis, menulis, membaca buku adalah obat, itulah caraku bercerita.
Ditengah penjara ini, aku tidak pernah ingin menyerah, meski terseok aku tahu cara bangun, dan kembali berjalan. Sejak keputusan besar itu, aku kembali mengemasi ulang hidup, meski sesekali tidak tahu harus melakukan apa, tapi satu hal bahwa aku juga tidak pernah lupa apa yang menjadi inginku. Ditengah keterusikanku, aku masih mengupayakan untuk menemukan apa yang harus ditemukan. Seperti petang ini, aku pergi ke suatu tempat untuk menemui seseorang yang akan menjadi investornya dalam bisnis yang sedang aku rencanakan, seperti tekadku satu tahun lalu bahwa aku akan membawa bisnis yang sudah mulai meringsut naik di desa untuk dikembangkan disini, aku melihat peluang besar, juga sekaligus tantangan besar, tapi bukan Praya namanya jika berhenti sebelum mencoba. Aku bersemangat untuk terus membangun relasi dan mencari informasi lewat siapapun untuk bisa memperoleh bantuan dan membangun hubungan yang saling menguntungkan agar usahaku bisa berjalan, dan hari ini adalah hari penting.
Aku dan seseorang itu berjanji untuk bertemu di cafe langgananku, tempat aku menikmati kopi dan ramai malam kota yang kutemui pertama kali disini, aku sudah cukup akrab dengan pemiliknya, lewat Pemiliki cafe jugalah akhirnya aku kenal dengan orang yang akan kutemui hari ini. Setelah menunggu selama 20 menit, akhirnya tamu spesial itu tiba, mengapa disebut spesial? Karena setelah waktu panjang ini akhirnya ada orang yang tertarik dengan proposal bisnis yang aku tawarkan, dan hari ini aku harus bisa mempresentasikan dan meyakinkan calon pemodal untuk bisa bekerja sama denganku.
Usianya sekitar 32 tahun, masih sangat muda, aku sudah bertemu dua kali dengannya, ia seorang perempuan yang sangat mengagumkan bagiku, aku jatuh cinta dengan kepribadian yang dimilikinya, kecerdasan dan pengetahuannya luas, sebabnya ia sangat mudah bergaul dan asyik untuk diajak ngobrol. Namanya Arum, pekerja sepertiku tapi ia juga seorang pembisnis, cafe ini adalah salah satu milikinya bersama Jingga, orang yang mengenalkanku pada Arum. Selain itu juga ia membuka bisnis rumahan, menerima pesanan cake ulang tahun, ia suka dengan seni sama sepertiku , sebabnya mengapa aku sangat mengagumi Arum.
Dengan bidang usaha dan selera yang sama tidak sulit bagiku untuk bisa meyakinkan dan menarik mbak Arum, begitulah aku memanggilnya. Kami bersepakat untuk memulai bisnis bersama hari ini. Karena kami berdua orang yang cukup sibuk dengan banyak aktivitas, kami mendiskusikan untuk bisa merekrut partner lain yang tentu satu visi, bisa dipercaya, dan mau bekerja sama, aku meminta mbak Arum untuk merekomendasikan seorang yang tepat untuk menjadi bagian dari tim kami. Tentu mbak Arum sudah mengantongi dua nama yang ia yakini bisa menjadi bagian dari tim kami, dua hari lagi kami akan bertemu dengan membawa konsep masing-masing.
Setelah diskusi panjang, aku meminta izin untuk pulang lebih dulu, dan kami menutup obrolan panjang ini dengan berjabat tangan tanda bersepakat untuk memulai perjalanan panjang bersama. Aku berpamitan pada Jingga yang masih sibuk menyeduh kopi, malam ini memang pelanggang Jingga lumayan banyak, cafenya ramai dengan orang yang sedang bercengkrama, atau mungkin sedang menghibur diri.
Tiba-riba Jingga memanggilku, berkata bahwa ada seseorang yang mencariku kemarin, tapi rupanya kami belum ditakdirkan bertemu. Seorang itu hanya menitipkan selembar kertas bertuliskan nomor ponsel. " Dia minta nomor kamu, tapi nggak aku kasih, karena belum sempat minta izin kamu, makannya dia nitipin ini, katanya dia bakal balik lagi kesini". Aku berterimakasih dan berlalu menuju pintu keluar. Dikepala mulai menebak-nebak siapa yang ingin menemuiku? Aku tak cukup banyak memiliki kenalan disini, ujarku dalam hati.
Wajah malam di kota A memang selalu berseri, ramai oleh tawa dan kata. Meski ada wajah-wajah mendung bersembunyi dibaliknya, tak ada yang melihat, semua orang sibuk dengan hidupnya masing-masing. Waktu merambat begitu cepat, aku berjalan menuju halte terdekat, dengan sisa energi yang sudah dihabiskan seharian, aku berhasil sampai di halte, tidak perlu waktu lama bus tiba hampir bersamaan denganku yang juga tiba di halte, beruntung ada kursi kosong yang bisa kududuki, setidaknya bisa tidur sebentar selama perjalanan pulang.
Malam tiba-tiba di guyur hujan cukup deras, setelah lama kota ini tak basah oleh air langit, aroma tanah yang basah olehnya begitu harum merebak menuju berbagai arah. Aku tak membawa payung, terpaksa berteduh menunggu hujan reda, jarak dari halte perhentian menuju tempat tinggal cukup jauh, aku terbiasa berjalan kaki karena mengirit ongkos, hal itu bukan masalah, hitung-hitung olahraga karena aku sadar kurang berolahraga selama ini. Setelah hampir satu jam, rupanya hujan tidak juga reda, jika aku tidak menerobos hujan, entah sampai kapan harus terus berada di halte. Malam semakin dekat menuju lelap, akhirnya aku memaksakan diri untuk menerjang hujan, berlari kecil menutupi kepala dengan tas, sebab yang paling penting adalah bisa sampai rumah segera, aku sudah merindukan kasur dan selimut hangatnya.
Ditengah kekhusyuanku menari bersama rintik air langit, wajah yang basah meski sudah coba dilindung oleh tas merasakan tidak ada lagi tetesan itu, hujan belum reda, tapi air tak lagi turun merengkuh tubuh yang sudah basah, aku menoleh, seseorang berdiri memegangi payung yang kini melindungi tubuhku, namun tubuh sipemegang payung itu justru basah. Waktu serupa memiliki tombol power, menghentikan waktu tiba-tiba, wajah itu kini telah bercucur air langit yang makin deras, ia hanya tersenyum, matanya meneteskan air, entah air hujan atau air mata begitu juga aku. Kami tak mengenali air yang ada diwajah kami masing-masing. Tubuhnya merengkuhku amat erat, wajahnya masih sama, ia masih seorang yang kukenal dulu, tatapannya penuh makna tapi aku tak tahu apa. "Maaf aku datang sangat terlambat ucapnya, masih tidak melepaskan pelukan" aku tak berkata apapun selain menepuk pundaknya yang sudah kedinginan. "Akupun" ucapku dalam hati.
Hujan semakin deras, sebuah kilat menyala terang, bersuara sangat lantang, bergemuruh mengisi penuh kota yang mulai sepi. Aku terkejut sampai terbangun, air diwajah turun, rupanya kali ini bukanlah air hujan. Mengapa mimpi itu terasa nyata. Pertemuanku dengan seseorang itu berhenti bersamaan dengan berhentinya bus di halte tujuanku. Hujan masih cukup deras, sementara aku masih berdiri mematung, ingatanku kembali pulang pada waktu yang telah lama hilang. Wajah itu masih sama, bahkan dalam mimpipun kami tak sempat banyak bicara, tak sempat aku bertanya, ia segera hilang bersamaan dengan gemuruh petir yang menyala terang, seolah termakan oleh cahaya kilat.
Aku berjalan gontai menerjang hujan yang masih turun.
Sumber foto: pinterest
Komentar
Posting Komentar