haruskah merasa cantik untuk meningkatkan percaya diri?
Setelah minggu lalu aku merangkum isi dari sebuah buku dengan judul Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan, kali ini aku juga kembali ingin berbagi sedikit cerita tentang isi buku yang sama, pada bagian bab lainnya tentang masalah standar kecantikan perempuan.
Secara garis besar buku karya Ester Lianawati ini mengangkat pengalaman perempuan dan fenomena di masyarakat yang berkaitan dengan isu feminis. Secara keseluruhan buku ini sangat menarik untuk dibaca, seolah tulisannya mengantarkan kami pada sebuah fakta dan membangun kesadaran terhadap fenomena masyarakat atas ketimpangan dan kedilemaan yang dialami perempuan.
Ada satu bab esai dalam buku ini yang membahas tentang Kecantikan dan Narsisme Ala Salome, dalam tulisannya Ester membahas terkait standar kecantikan yang ditujukan oleh perempuan. Seperti yang kita ketahui bahwa konstruksi sosial hari ini telah menetapkan standar kecantikan perempuan secara tidak realistis, dan dipukul rata. Meski kita tidak secara sadar dan tidak tahu betul kapan standar ini pertama kali dimunculkan, yang jelas bahwa standar kecantikan telah menjadi warisan dari generasi ke generasi, mengakar dan terinternalisasi dengan sangat kuat di masyarakat.
Didukung dengan media dan industri kecantikan yang semakin hari semakin marak, masyarakat selalu disuguhukan dan dicocoki oleh berbagai media melalui iklan-iklan produk kecantikan yang sangat menggoda. Dengan warisan standar kecantikan yang tidak kreatif, kenapa aku sebut tidak kreatif? Karena kriteria cantik yang diharuskan adalah sama, hal ini tentu bertolak belakang dengan kondisi perempuan hari ini, dengan latar belakang, suku, ras, hingga kondisi lingkungan yang berbeda tentu menyebabkan kondisi perempuan yang berbeda pula. Perempuan akhirnya dan lagi-lagi menjadi objek daripada kecantikan, karena tuntutan masyarakat terhadap perempuan untuk menjadi cantik yang sudah ditetapkan, tidak sedikit perempuan berlomba-lomba untuk menjadi cantik.
Dalam tulisannya Ester mengungkapkan bahwa tuntutan perempuan untuk menjadi cantik dikemas dengan baik, dalam bentuk pujian dan penguatan, seperti “Ah cantiknya, tambah manis dengan pita berenda itu” dan sederet kalimat pujian yang serupa. Sehingga akhirnya kecantikan menjadi aspek yang dilekatkan kuat pada perempuan. Siapa yang tak senang dipuji? tentu siapapun akan merasa senang bila mendapat pujian. Dari hal tersebut akhirnya dapat dilihat bahwa yang diajarkan kepada perempuan adalah menjadi cantik akan mendatangkan reward, dan sebaliknya jika perempuan tidak menjadi cantik ia tidak memperoleh reward.
Barangkali hal inilah yang akhirnya menimbulkan keinginan perempuan untuk terlihat cantik, sebab ia akan diterima dengan baik oleh masyarakat dan memperoleh reward atas kecantikannya. Hingga perempuan seringkali terjebak dalam aktivitas untuk memenuhi kepuasan mata yang memandang dan memuja kecantikannya. Meski mungkin tidak sedikit dari kita menyangkal hal itu sebagai alasan kita ingin menjadi cantik. "Tentu saya berdandan, merawat diri dan ingin menjadi cantik karena untuk menyenangkan diri saya sendiri" begitulah kurang lebih. Dan itu tidaklah salah.
Disadari atau tidak, banyak kita temui justru yang menjadi sangat kejam terhadap perempuan adalah sesama perempuan lainnya. Perempuan memberikan kriteria yang kejam terhadap perempuan lainnya tentang masalah kecantikan, sehingga tidak ada ujungnya dan menjadi serba salah menjadi perempuan.
Mengakui atau tidak, pasti kita pernah menemukan fenomena seperti ini, misal “Jika dia cantik dan senang berpakaian sedikit terbuka, kita menyebutnya cantik, tapi selalu diasosiasikan sebagai perempuan yang tidak baik-baik, jika dia cantik dengan wajah baik dan lemah lembut akan diasosiasikan sebagai perempuan yang pantas dipuja dan tentu pantas dinikahi karena dia akan menjadi istri yang penurut. Jika ada perempuan cantik namun kurang memiliki wawasan kita akan mengecamnya sebagai perempuan cantik yang bodoh, atau jika ada perempuan yang tidak memenuhi standar cantik, namun ia memiliki keberanian untuk mengutarakan pendapat kita menyebutnya “sudah tidak cantik, tapi sok pintar” begitulah kurang lebih kritik tajam yang akan selalu kita jumpai dalam kehiduapn sehari-hari ditengah masyarakat yang patriarki ini.
Namun yang menjadi catatan ku adalah bukan Soal daripada cara berpakaian dan atau kelemah lembutan yang dilekatkan pada diri perempuan, terlepas daripada hak perempuan untuk memutuskan ingin berpenampilan seperti apa, kita sebagai manusia tentu juga perlu memiliki kemampuan dalam menempatkan diri dimana kita berada. Dan apa-apa yang dilihat daripada perempuan lagi-lagi adalah soal penampilan fisik, hal-hal lain yang melekat pada diri perempuan adalah menjadi penilaian akhir yang tidak terlalu penting.
Ada bagian narasi Ester yang sangat aku sukai terkait kritik pedas yang sering diterima oleh perempuan tentang kecantikan, yang hal ini selalu menjadi nilai yang aku amini agar tak menjadi orang yang "semau gue", dan aku sependapat dengannya, bahwa perempuan yang mengkritik sesama perempuan adalah perempuan yang merasa “terancam” merasa tidak aman dan tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Tentu banyak penyebabnya, bisa karena pengalaman, kosntruksi masyarakat, pola asuh dan hal-hal lainnya, perempuan yang seperti ini menurut Ester karena ia belum terbebas dari kompleks-kompleks, sebab perempuan yang sudah terbebas dari kompleks-kompleks ia tidak akan merasa terancam atas perempuan lain, sebab ia sudah menerima dirinya secara utuh.
Perempuan yang sudah menerima dirinya secara untuh ia akan menjadi perempuan yang bahagia yang tidak perlu mengkritik perempuan lain hanya untuk meningkatkan harga dirinya, hanya untuk diterima.
Diakihir essainya ini Ester menulis sebuah pertanyaan sekaligus pernyataannya terkait apakah perlu kita “perempuan” merasa cantik untuk mencintai diri sendiri?. Ini menarik untuk bisa kita obrolkan, akhir-akhir ini tentu kita sering mendengar slogan-slogan yang muncul dan banyak dinaikkan di media tentang self love atau mencintai diri sendiri.
Banyak dari kita didoktrin dengan mindset mencintai diri sendiri dengan cara yang justru memaksakan diri. Maksud dari memaksakan diri disini adalah artinya kita seringkali salah mengartikan kalimat mencintai diri sendiri, bahwa dengan melakukan apapun yang kita suka, dan memberikan reward kepada diri sendiri adalah bentuk mencintai diri sendiri, hal itu tidak salah, namun yang menjadi keliru daripada mengartikan kalimat mencintai diri sendiri adalah ketika kita menganggap hal-hal yang kita lakukan semuanya adalah sebagai bentuk mencintai diri sendiri namun malah kita masih menjadikan perempuan lain sebagai saingan, namun malah kita menyusahkan diri dalam proses mencintai diri sendiri itu.
Satu hal yang masih kita temui adalah seringkali kita mengasosiasikan “mencintai diri” dengan “merasa cantik”, seolah perempuan yang mampu merasa cantik adalah perempuan yang telah mencintai dirinya sendiri. Hal ini justru melanggengkan budaya yang menuntut perempuan untuk cantik, meski pesan hal ini sekilas memang positif untuk menambah kepercayaan diri perempuan. Namun jika kita mencoba kembali memahami dari pesan ini bahwa akhirnya kita seperti sedang menipu diri sendiri, menyangkal fakta dan masih menormalisasikan bahwa perempuan yang berharga adalah perempuan yang sudah memenuhi standar kecantikan yang ditentukan oleh masyarakat.
Padahal sejatinya tidak perlu merasa cantik jika memang kita tidak merasa cantik, itu bukan sebuah penerimaan diri secara utuh, bagaimana kita menganggap bahwa perempuan telah menerima dirinya secara utuh jika kita masih menyangkal atas diri kita sendiri? Ataukah selama ini kita masih salah mengartikan kalimat penerimaan diri? Dan “mencintai diri sendiri” adalah sebuah kalimat penenang dan pembelaan atas ketidakmampuan kita mencapai standar yang sudah ditentukan oleh sosial?.
Sejalan dengan pendapat Ester dalam pandanganku adalah bahwa perempuan tidak harus merasa cantik untuk dapat mencintai diri sendiri, sebab penerimaan diri secara utuh artinya adalah kita menerima lebih dan kurangnya diri, kita menyadari bahwa nilai dari seorang perempuan tidak hanya dibatasi pada kecantikan semata, bahwa nilai diri seorang perempuan tidak hanya dinilai dari seberapa cantiknya kita, perempuan yang benar-benar telah mencintai dirinya sendiri adalah perempuan yang dengan sadar atas keberadaannya, mengakui ketidaksempurnaannya, jika ia tidak merasa cantik ia tidak akan menganggap dirinya cantik, tapi ia akan melihat sisi lain dari dirinya yang juga bernilai, bahwa kriteria perempuan yang bernilai adalah bukan hanya sebatas seberapa cantiknya dia, dan tidak akan menganggap perempuan lain sebagai pesaingnya, justru ia akan terus belajar dan memperkaya diri dengan ilmu dan pengetahuan untuk menambah nilai dirinya dan berusaha untuk berdaya agar mampu memberdayakan orang lain.
Jangan sampai kita menjadikan kecantikan sebagai tirani. Jangan memaksakan diri sendiri untuk merasa cantik meski tidak cantik, sebab sekalipun seorang perempuan cantik (berdasarkan kriteria masyarakat) belum tentu ia mampu mencintai dirinya sendiri, sebab kita akan selalu merasa kurang dan akan selalu melihat orang lain lebih daripada kita, sehingga kita tak pernah selesai mengejar kriteria cantik tersebut.
Pada akhirnya akan lebih mudah jika kita hanya perlu menerima bahwa kita memang tidak cantik (sesuai standar sosial) daripada kita memaksa diri untuk merasa cantik agar meningkatkan percaya diri kita dimata masyarakat sementara pada kenyataannya kita memang tidak cantik (berdasarkan standar masyarakat). Bahwa artinya mencintai diri sendiri bukan berarti kita selalu membenarkan apa yang menjadi tindakan kita hanya untuk mencoba menyangkal fakta yang sesungguhnya.
Kita bisa membangun standar sendiri sebagai nilai yang perlu dimiliki kita sebagai perempuan dan manusia , yaitu kemampuan untuk jujur dan tulus dengan diri sendiri, membebaskan diri dari pandangan orang lain adalah dasar daripada mencintai diri sendiri dan cinta itulah yang mutlak diperlukan oleh kita untuk dapat mengasihi orang lain. Menebar kebaikan dan kasih sayang dengan cara yang jujur tanpa menyangkal keberadaan diri sendiri adalah sebuah nilai yang tak bisa hilang.
Komentar
Posting Komentar