menjadi buku yang terbuka atau rumah yang pintunya tertutup?
Ada sepotong kalimat yang saya sendiri lupa pernah baca atau saya lihat kapan, yang jelas saya mendapatinya dari sebuah laman linimasi sosial media. Seingatku begini potongan kalimatnya “jangan seperti buku yang terbuka, mudah terbaca, siapapun tau isinya”. Setiap kali saya mengingat potongan kalimat itu, saya selalu berhenti untuk berbicara terlalu banyak sampai pada hal-hal tidak penting, terus bercerita. Kurasa semakin banyak yang kita ucapkan justru semakin banyak juga sikap yang harus kita selaraskan dengan apa yang kita ucapkan. Seperi halnya menulis, semakin banyak yang kita tulis kitapun harus menyelaraskan apa yang kita tulis dengan apa yang menjadi keputusan, dan cara pandang kita terhadap sesuatu.
Berbicara itu mudah, tapi memastikan isi pembicaraan tersebut berisi itu tidak semua orang bisa, menurutku demikian. Konteks berbicara disini bukanlah berbicara di depan publik, namun lebih kepada bicara dalam percakapan keseharian dengan orang-orang disekitar.
Saya juga menyepakati satu hal tentang bagaimana kita tidak perlu menjadi seperti buku yang terbuka, yang mudah terbaca, dan siapapun dengan mudah tahu isinya. Bukan menjadi sok-sok an misterius dan agar sulit dipahami, tapi ada beberapa hal yang memang harus dibatasi, beberapa hal yang perlu disimpan sendiri, atau hanya dibagi oleh orang-orang tertentu saja. Terkadang meski niat kita hanya mengobrol dengan tujuan berbagi pendapat dan bercerita justru tidak jarang obrolan-obrolan tersebut menjurus pada hal-hal lain yang akhirnya bermuara pada obrolan yang subjektif, membandingkan pengalaman hingga apapun yang tak berujung baik, menyinggung banyak pihak secara tidak sadar.
Setiap kali potongan suara itu datang, saya teringat pada beberapa orang yang kukenal dengan kegemarannya bercerita apapun, tidak ada yang terlewat, banyak hal diceritakannya, seolah segala yang ia alami semua orang yang bersamanya harus tahu itu, tidak ada rahasia seperti buku yang terbuka dan siapapun bisa membaca isinya. Dalam kehidupan, ada banyak manusia dengan karakter yang beragam, setiap orang unik dan istimewa, beberapa diantaranya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, menjadi pembicara yang baik dan menyenangkan, dan beberapa diantara lainnya lebih unggul pada kemampaun mendengarkannya, siapapun senang bercerita pada orang yang bisa menjadi pendengar yang baik. Keduanya adalah baik jika dilakukan dengan seimbang.
Tapi agar menjadi pembicara yang baik, kita perlu belajar untuk menjadi pendengar yang baik, begitu juga menjadi pendengar yang baik, kita butuh kemampuan komunikasi yang baik, tapi tidak semua pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Beberapa diantara kita masih disibukkan dengan apa yang diyakininya, dengan apa yang menjadi dunianya. Kita sibuk dengan keakuan dan bahwa setiap orang perlu mendengarkan ceritanya dan sudut pandangnyalah yang sudah paling benar.
Namun dibeberapa hal justru sesekali saya berfikir menyenangkan menjadi orang-orang seperti itu, maksudku adalah orang-orang yang mudah bercerita apapun, orang-orang yang seperti buku terbuka yang siapapun bisa membacanya dan tahu isinya, siapapun tahu cerita hidupnya, cerita kesehariannya biasanya mereka lebih terus terang dalam menyampaikan perasaan dan pikirannya, mereka lebih bebas menjalani kehidupan, sebab baginya yang paling penting adalah bahwa dalam segala bentuk relasi ia tidak menjadi pihak yang dirugikan, selama hal-hal bisa dicapai dengan mudah mereka tidak keberatan dan tidak terganggu dengan apapun tentang orang lain yang tidak berhubungan dengan kepentingannya.
Meski begitu terlepas dari apapun, segala hal berpulang pada bagaimana seseorang ingin menjalani hidup, tentunya tujuan utama dari setiap kita adalah menjalani hidup yang nyaman. Dan yang paling penting daripada merasa nyaman adalah bahwa kenyamanan kita tidak mengganggu dan merampas kenyamanan milik orang lain.
Tapi ada satu analogi lain yang juga menarik menurutku, adalah jadilah seperti rumah yang pintunya ditutup, tapi tidak dikunci, jika ada siapapun bertamu harus mengetuk terlebih dahulu, kita boleh mempersilakannya masuk, tapi ingat! kita lihat dulu siapa yang mengetuknya.
Lagi-lagi ini hanya soal sudut pandang dan keliaran berfikir dengan penalaran yang masih dangkal, tidak ada pembenaran didalamnya, segala hal bisa terlihat benar atau salah tergantung apa yang kita cari. Satu hal yang juga baru kuingat adalah, bahwa tidak semua orang tertarik untuk membaca buku.
Sumber foto: Pinterest
Komentar
Posting Komentar